Sabtu, 27 Mei 2017

Inilah Tradisi dalam Menyambut Datangnya Bulan Ramadhan di Beberapa Daerah di Indonesia


Inforamadhan - Indonesia adalah sebuah negeri yang kaya akan berbagai macam tradisi dan budaya. Keragaman tersebut telah termasyhur cukup lama, baik di kalangan masyarakat Indonesia sendiri maupun di dunia internasional.

Keragaman budaya dan tradisi tersebut terus-menerus mewarnai berbagai perkembangan yang terjadi di dalam negeri yang juga terkenal dengan keanekaragaman hayatinya.

Seperti yang telah kita ketahui juga, Indonesia adalah salah satu negeri di mana mayoritas dari masyarakatnya adalah penganut agama Islam.

Berangkat dari fakta tersebut, tentulah Bulan Ramadhan menjadi sebuah peristiwa penting di dalam negeri ini. Telah banyak gelaran tradisi untuk menyambut Bulan Ramadhan di berbagai daerah dan pelosok-pelosok daerah.


Namun ada satu fakta yang mungkin saja tidak ketahui sebelumnya, yaitu adanya perayaan-perayaan khusus demi menyambut bulan suci bagi umat Islam. Perayaan tersebut tentulah berbeda-beda, namun tetap membawa sebuah semangat yang sama, yakni merupakan bentuk ucap syukur serta kegembiraan umat muslim akan datangnya bulan puasa.

Dalam kalender Islam, bulan Ramadhan akan diawali dengan datangnya bulan Syaban. Di bulan inilah biasanya banyak digelar upacara tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan oleh masyarakat setempat.

Berikut adalah beberapa tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan di beberapa daerah di Indonesia.

1. Tradisi Dugderan


Tradisi unik pertama adalah Dugderan. Tradisi Dugderan ini berasal dari kota Semarang, Jawa Tengah. Nama Dugderan sendiri berasal dari kata Dug dan Der.

Kata Dug diambil dari suara dari bedug masjid yang ditabuh berkali-kali sebagai tanda datangnya awal bulan Ramadhan. Sedangkan kata Der sendiri berasal dari suara dentuman meriam yang disulutkan bersamaan dengan tabuhan bedug. Tradisi yang sudah berumur ratusan tahun ini terus bertahan ditengah perkembangan jaman. biasanya digelar kira-kira 1-2 minggu sebelum puasa dimulai.

Karena sudah berlangsung lama, tradisi Dugderan ini pun sudah menjadi semacam pesta rakyat.

Meski sudah jadi semacam pesta rakyat berupa tari japin, arak-arakan (karnaval) hingga tabuh bedug oleh Walikota Semarang, tetapi proses ritual (pengumuman awal puasa) tetap menjadi puncak dugderan.

Untuk tetap mempertahankan suasana seperti pada jamannya, dentuman meriam kini biasanya diganti dengan suara-suara petasan atau bleduran. Bleduran terbuat dari bongkahan batang pohon yang dilubangi bagian tengahnya, untuk menghasilkan suara seperti meriam biasanya diberi karbit yang kemudian disulut api.

2. Tradisi Meugang


Tradisi unik yang kedua adalah Meugang. Berbeda dengan lainnya, di Aceh atau yang akrab disebut dengan kota Serambi Mekah, warganya menyambut datangnya bulan suci Ramadhan dengan menyembelih kambing atau kerbau.

Tradisi ini disebut Meugang, konon kabarnya tradisi Meugang sudah ada sejak tahun 1400 Masehi, atau sejak jaman raja-raja Aceh.

Tradisi makan daging kerbau atau kambing ini biasa dilakukan oleh seluruh warga Aceh. Bahkan jika ada warga yang tidak mampu membeli daging untuk dimakan, semua warga akan bergotong-royong membantu, agar semua warganya dapat menikmati daging kambing atau kerbau sebelum datangnya bulan Ramadhan.

Tradisi Meugang biasanya juga dilakukan saat hari raya Lebaran dan Hari Raya Haji.

3. Tradisi Nyorog


Tradisi unik selanjutnya adalah Nyorog. Di Betawi, tradisi Nyorog atau membagi-bagikan bingkisan makanan kepada anggota keluarga yang lebih tua, seperti Bapak/Ibu, Mertua, Paman, Kakek/Nenek, menjadi sebuah kebiasan yang sejak lama dilakukan sebelum datangnya bulan Ramadhan.

Meski istilah Nyorognya sudah mulai menghilang, namun kebiasan mengirim bingkisan sampai sekarang masih ada di dalam masyarakat Betawi.

Bingkisan tersebut biasanya berisi bahan makanan mentah, ada juga yang berisi daging kerbau, ikan bandeng, kopi, susu, gula, sirup, dan lainnya.

Tradisi Nyorog di masyarakat Betawi memiliki makna sebagai tanda saling mengingatkan, bahwa bulan suci Ramadhan akan segera datang, selain itu tradisi Nyorog juga sebagai pengikat tali silahturahmi sesama sanak keluarga.

4. Tradisi Mungguhan


Tradisi unik selanjutnya adalah Mungguhan. Mungguhan adalah satu kegiatan berkumpul bagi anggota keluarga, sahabat dan bahkan juga teman-teman kita saling bermaaf-maafan sambil menikmati sajian makanan khas untuk kemudian mempersiapkan diri masing-masing dalam menghadapi bulan Ramadhan yang akan datang.

Tradisi ini adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang sunda dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan.

Biasanya tradisi ini dilakukan oleh hampir semua golongan masyarakat walaupun dengan cara yang berbeda-beda. Tetapi intinya tetap satu, yaitu berkumpul bersama sambil menikmati sajian makanan yang disuguhkan.

Inilah tradisi yang biasa dilakukan ditengah masyarakat sunda pada umumnya yang secara turun temurun terus dipertahankan oleh setiap generasi berikutnya.

5. Tradisi Padusa


Lain daerah pasti lain pula tradisinya, masyarakat di Klaten, Boyolali, Salatiga dan Yogyakarta biasa melakukan upacara berendam atau mandi di sumur-sumur atau sumber mata air ditempat-tempat kramat.

Tradisi ini disebut Padusa yang bermakna agar jiwa dan raga seseorang yang akan melakukan ibadah puasa bersih secara lahir dan batin. Selain itu juga bermakna sebagai pembersihan diri atas segala kesalahan dan perbuatan dosa yang telah dilakukan sebelumnya.

6. Tradisi Jalur Pacu


Di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, masyarakatnya memiliki tradisi yang mirip dengan lomba dayung.

Tradisi “Jalur Pacu” ini digelar di sungai-sungai di Riau dengan menggunakan perahu tradisional, seluruh masyarakat akan tumpah ruah jadi satu menyambut acara tersebut.

Tradisi yang hanya digelar setahun sekali ini akan ditutup dengan “Balimau Kasai” atau bersuci menjelang matahari terbenam hingga malam.

7. Tradisi Balimau


Tradisi Balimau hampir sama dengan tradisi padusa, yakni membersihkan diri dengan cara berendam atau mandi bersama-sama di sungai atau tempat pemandian.

Tradisi Balimau dilakukan oleh masyarakat Padang, Sumatera Barat. Biasanya tradisi ini dilakukan dari mulai matahari terbit hingga terbenam beberapa hari sebelum bulan Ramadhan.

Mirip dengan “Padusa”, makna dari tradisi Balimau ini berarti melakukan pembersihan diri secara lahir dan batin, agar seseorang siap menjalankan ibadah puasa.

8. Tradisi Nyadran


Kalau tradisi yang satu ini diadakan oleh warga Boyolali, Jawa Tengah – ada juga daerah lain (Jateng-Jatim) yang punya tradisi ini. Singkatnya, tradisi Nyadran ini adalah ziarah kubur yang dilakukan bersama-sama oleh warga Boyolali. Tradisi Nyadran yang biasa dilakukan menjelang Ramdhan, atau tepatnya pada tanggal 16 Sya’ban, juga diramaikan dengan kebiasaan membawa jajanan pasar dan buah-buahan ke makam, tapi jangan salah, bawaan makanan itu nantinya akan dibagi-bagikan kepada masyarakat yang ikut Nyadran.

Nyadran atau sadranan berasal dari bahasa Jawa yang artinya berziarah. Pada mulanya nyadran dilakukan ke makam tokoh masyarakat yang sangat dihormati maupun nenek moyang keturunannya. Namun kini, beberapa masyarakat hanya berziarah ke makam famili atau sanak saudaranya.

Nyadran biasanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu seperti menjelang bulan Ramadan yaitu bulan Syaban atau Ruwah. Nyadran sendiri merupakan simbol hubungan antara manusia yang masih hidup dengan yang sudah mati dan Tuhan Yang Maha Kuasa.

“Hakikatnya Nyadran adalah mendoakan arwah agar Tuhan memberikan berkah kepada kita, mikul dhuwur mendhem jero (menjunjung kebaikan dan memendam keburukan-red). Mendoakan arwah agar kita ingat bahwa manusia nantinya pasti akan mati sehingga jiwa dan raga bersih dan siap menjalankan puasa,” kata budayawan Jawa Suwardi Endraswara.

Doa yang dipanjatkan biasanya menggunakan tata cara Islam yang dipimpin beberapa orang. Sementara anak-anak dan orang lain mengamini doa tersebut.

Dalam prosesi nyadran biasanya para peziarah membawa tiga jenis bunga. Bunga kantil, kenanga dan mawar. Setiap bunga memiliki makna tersendiri. Kantil, lanjut Suwardi, agar hati peziarah terkait dengan orang yang sudah meninggal. Kenanga sebagai tanda agar semua kenangan selalu diingat dan terakhir mawar sebagai permohonan agar dosa arwah dihapus.

9. Tradisi Papajar


Di Cianjur, tradisi seputar Ramadhan yang terkenal adalah tradisi Papajar. Papajar biasa dilakukan sebagian para ulama Cianjur dimana para ulama dari berbagai pelosok Cianjur pada akhir bulan Syakban datang ke Masjid Agung untuk mengetahui kapan puasa Ramadan dimulai. Informasi tentang awal puasa ini nantinya disampaikan kepada umat di daerahnya.

Para ulama itu bermalam dan makan bersama di sana sambil menunggu pengumuman awal puasa dari Imam Besar Kaum. Tampaknya dari kegiatan itulah dikenal sebutan papajar sekarang ini. Konon papajar ini singkatan dari Mapag Fajar, fajar awal Ramadhan, waktu dimulainya puasa. Mapag, dalam bahasa Sunda berarti menyambut atau menyongsong.

Setelah diumumkan kapan puasa dimulai, para ulama itu menginformasikannya kepada umat di daerahnya masing-masing. Kaum Muslimin tidak berani berpuasa kalau belum ada pengumuman resmi dari Kaum, walau pada waktu itu untuk memperoleh informasi tentang awal puasa tidak semudah sekarang.

Dalam konteks selanjutnya, tradisi Papajar berkembang lebih luas yaitu adanya acara makan bersama keluarga atau piknik untuk acara makan-makan. Sebenarnya tradisi makan-makan ini tidak berbeda jauh dengan munggahan hanya saja masyarakat cianjur, menyiapkan acara makan-makan tersebut jauh-jauh hari, bisa hingga seminggu sebelum puasa.

10. Tradisi Ngadongkapkeun


Tradisi ngadongkapkeun merupakan perpaduan adat lokal dengan ajaran islam.

Intinya, bentuk rasa syukur warga kepada Allah SWT dan penghormatan pada leluhur yang telah berjasa sehingga anak cucunya bisa hidup bahagia Dalam ritual tersebut, sejumlah sesajian disediakan. Biasanya terdiri dari makanan kecil, air putih, kopi dan sebagainya.

Jumlahnya harus ganjil; tiga, lima atau tujuh rupa. Ritual dipimpin oleh tetua adat yang berpakaian khas Banten Kidul, berwarna hitam-hitam. Menurut Agus, antara ritual agama Islam dan tradisi lokal bisa hidup berdampingan di Cisungsang. “Walau bagaimana, kami menyadari tradisi itu bukan agama.” Sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, menurut Agus, tradisi tidak harus ditinggalkan. Sebagai contoh, tradisi ngadongkapkeun tidak bertentangan dengan Islam karena merupakan wujud rasa syukur kapada Allah SWT dan leluhur.

11. Tradisi Ruwahan


Tradisi Ruwahan adalah tradisi yang sudah hidup dan berkembang di masyarakat yang dilakukan menjelang bulan puasa. Filosofi yang dipegang masyarakat dengan memasak kue tradisional itu adalah Apem, menyimbolkan permohonan maaf atas seluruh kesalahan dan dosa.

0 Komentar Inilah Tradisi dalam Menyambut Datangnya Bulan Ramadhan di Beberapa Daerah di Indonesia

Posting Komentar

Back To Top